Oleh: Yogie
Sa pu rindu pada lembah, walapun hanya sisipkan
bayang-bayang yang tra kunjung tiba. Hilang terbawah waktu yang bisa dihitung
dengan kedua tangan. Bukan soal lamanya pergi, bukan juga lamanya pulang. Jika
tong pulang, tong akan jumpa pada lembah, danau, laut, pegunugan dan pohon-pohon
serta batu-batu sungai. “ mengaung, pada bait lirik-lirik sebuah lagu”. Hening. Trada suara apapun, kecuali nada-nada pada syair lagu yang sedang mengaung. Sambil menikmati syair-syairnya, lepas juga cerita panjang samping pohon tua, di kota yang kala itu dibombardir penjajah, lebihnya pulau bekas belanda. Kira-kira puluhan tahun lalu. Sudah satu abad merdeka, tapi rasanya baru seumur jagung. Belum dewasa, kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. kenyatannya omong-kosong. Sambil kunya makan murah, nutrisinya rendah serendah negara ini. Sa mendengar dengan hati sendu meskipun tra paham syair-syairnya. Setelah amati dengan jernih, nada-nada pada alunan lagu itu. Sa mendekat dan bertanya tentang diksi yang bergemuruh pada gelap itu, mungkin syair-syairnya. tong dua, tukar bicara dalam lamunan yang membius pada segala mata arah. Kemudian, de jelaskan sedikit soal arti dari lagu tersebut. De adalah sa pu kawan, de pu nama musa. Itu nama panggilannya yang selalu di gaungkan di seanteoro kota. Nama aslinya, sa juga tra begitu tau. Tong dua mula-mula hanya bersantai di bawah pohon tua, sembari bicang-bicang soal keresahan-keresahan pada hati. Pada dunia, lebih-lebih pada penguasa, karena dong pu kebijakan, tong jadi tumbal atas dong pu kepentingan. Sa pu kawan musa ne, tong baru ketemu satu tahun lalu. “De bilang, sa datang dan harus pulang ada isi, kalau sa pu isi plus nol dalam kerangka sumsum kepala nanti dong bisa isi sa dalam karung”. Sa penasaran, kapan de pulang? de su berapa lama di kota ini! “Musa, ko terakhir kali pulang kapan?” sa tanya de. de tra kasih jawaban. Sa alikan pembicaran, alih-alih fokus pada gelombang senar gitar pada syair lagu yang de putar di hp (hendphone). Tra lama kemudian, musa de lepas suara yang ringan. “sa kesini sejak smp, kawan. Sa kesini enam tahun lalu. katanya”. Sa diam, tra respon de pu jawaban. Sa diam, pura-pura dengar lagu yang de ada putar itu. Musa, lagu ini menggambarkan kalau, pulang dalam bayang-bayang rindu. “Sa tanya de.” De diam, tong dua hanyut dalam lagu. sampe-sampe de lupa kas buang suara balik. Lagu yang de putar itu, memang bahasa hubula, hubula adalah salah satu suku di pengunungan jayawijaya. Singkatnya, suku hubula dong tersebar sekitar lembah baliem (wamena), disana ada salah satu tumbuhan bunga itu unik, banyak orang pada tertarik, de biasa tumbuh setiap bulan Mei. Suku hubula dong biasa sebut tumbuhan bunga owasi-owasika. Jayawijaya itu berbatasan dengan Nduga. Nduga, itu de pu ibuku kota kenyam. sekarang jantung kenyam itu mati, sama halnya dengan yahukimo dan beberapa kota di pengunugan Papua. seperti kota wuhan di china awal mula muncul virus corona, tapi ne lebih brutal. dorang pemilik dusun dong mengungsi ke hutan. Nduga yang ada hanya militer endonesia, dong ada tersebar operasi siaga siap tempur. Operasi terus-menerus, miliyaran dong garap. Dong tipu pusat, dong sendiri baku tipu. Malam itu, hanya ada angin. Trada suara-suara lain, barangkali yang lain libur. Sa kembali dengan mengajukan pertanyaan semula. Musa ko kapan pulang? “Tratau! Tratau! Sa tratau. banyak yang sa harus belajar di sini”. de jawab dengan nada suara yang membentak. Kemudian musa menyambung dengan kalimat sederhana, “kenapa
orang-orang dong pulang jika liburan kuliah itu tiba. Padahal dong bisa
manfaatkan waktu liburan untuk hal-hal yang bisa memajukan dong punya pikiran,
kerampilan, bahkan dong bisa kursus, tentang bahasa, mesin, listrik, itu dong
bisa lakukan untuk menambah dong pu skill”.
Ko ambil gorang sudah, tinggal satu saja itu. “saya membentak
dia”. “Iyo, tong belah dua sudah! Trada yang nanti datang
bawah ko makan, tong makan saja senin-kamis, nanti lambung pegang baru”. Musa de
jawab dengan menampilkan de pu gigi, kemudian tong kembali terbeak-beak”. Malam hilang terlalu panjang juga lama muncul petang. Serasa,
mentari malu kembali untuk mendukung segala yang bernafas bangun. Bangun dari
tidur yang kepanjangan, berlarut-berlarut, tak peka, hura-hura. Tong hentikan, semua soal keresahan-keresahan yang menjadi topik seperkata-kata. Kemudian, dengan suara yang tegas. Sa bentak de, “musa ko putar lagu yang tadi, kas ulang kah?”. Musa setuju. Tong kembali, condongkan telingga.
Hening, hanya ada suara music. soalah-olah semesta mendukung. tong menghilang
dalam suasana yang teduh. Dalam setiap bait, pilihan kata. Syair-syair yang
hidup, menghidupi imaji-imaji yang terkubur. Gebyar-gebyar memberi ketenangan
yang panjang. Dalam pusaran
hidup yang deras, tong melibatkan genangannya untuk berusaha menemukan
butiran-butiran yang terkubur dalam sangkar derita. Soal kamatian yang
membumin, pembunuhan itu gratis, mesin-mesin dikerakan mencari segala yang
bernapas. Itulah, tong kemari untuk terbentur, menjadi manusia
merdeka. Merdeka secara berfikir, tindakan, untuk menciptakan kebebasan yang
hakiki. Menghentikan, kekuasahan-kekuasahan dari manusia lain terhadap manusia,
serta praktek-praktek menindas segala yang bernapas. Sedangkan, nada-nadanya membawah harapan-harapan baru.
Tra hanya itu, suasana dalam endapan trada bunyi-bunyian, meredahkan kepala dan
men-isyaratkan kalau segala sesuatu akan berlalu. Segala penindasan, pembunuhan,
pemerkosaan, penculikan dan segala teror-meneror pada psikologi dan segala
persoalan kejahatan kemanusiaan. Tong akhiri, malam itu. Malam hitam yang di takuti
manusia. Apa yang salah dengan hitam? seolah-olah manusia mengibiri malam yang
hitam adalah malaikat pencabut nyawa. Padahal, malam maupun siang musibah
berlalu-lalang. Musibah itu di buat manusia dan pelakunya adalah manuasia. Temukan
jawabanya pada praktek-prakte manusia lain menindas manusia lain di seantero
dunia. Mentari telah kembali, bunyian-bunyian telah hidup.
tong akhiri, pada petang yang membawah harapan-harapan baru. Tong akhiri dengan
kata, “Pulang dalam bayang-bayang rindu”. |
0 comments:
Posting Komentar