(Foto Penulis) |
Oh iya, saya akan curhat pengalaman selama saya sekolah mulai dari SD, SMP, dan SMA. Pada waktu sekolah, saya biasa ambil bagian dalam upacara bendera merah putih setiap hari senin, baik itu jadi pemimpin upacara, pembawa bendera, pembawa teks pancasila, dan lain sebagainya. Namun, sedikit aneh setelah sampai di Jawa, setiap hari senin tidak ada upacara bendera. Hal itu saya lihat di beberapa sekolah yang saya pernah ditemui. Mengapa di Papua diwajibkan untuk upacara bendera merah Putih? Itu adalah satu cara Indonesia untuk mengindonesiakan orang Papua. Apa lagi usia sekolah sangat mudah untuk menangkap dan menyimpan di memori otak. Mengapa saya katakan Indonesia mau mengindonesiakan orang Papua? Oke saya akan jelaskan sedikit. Menurut buku yang berjudul “Jejak Kekerasan Negara dan Militerisme di Tanah Papua” penulis Dr. Socratez S. Yoman, halaman 13-14.
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 dianggap melanggar hukum international, maka sidang umum PBB hanya mencatat “Take note”. Istilah “take note” tidak sama dengan di sahkan. Hanya tercatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanan PEPERA 1969 di Papua Barat.
Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA 1969) hanya di catat “take note”, disebabkan oleh perlawanan sengit dari beberapa negara anggota PBB yang dimotori oleh Pemerintah Ghana. Ada sebuah data tentang Papua, data tersebut tertuang dalam dokumen PBB di New York yang berjudul:
“Six Lists Of Summaries Of Political Communications From Unidentified Papuans To Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box l, file 5.”
Para pembaca perlu mengetahui bahwa ada 15 negara dari kawasan Afrika dan Karabia pernah melawan dan menolak hasil PEPERA 1969 yang tidak adil dan dimenangkan ABRI itu.
“Pepera tahun 1969 adalah ilegal, pepera dilaksanakan di bawa tekanan militer Indonesia”. Indonesia tidak butuh manusia Papua, tetapi Indonesia butuh tanah Papua dan kekayaan yang dimiliki oleh orang Papua.
Saya selama sekolah tidak tahu kasus operasi militer RI yang katanya untuk menyelesaikan masalah di Papua, diantaranya: Seperti operasi sadar tahun 1965-1967, operasi brathayudha tahun 1967-1969, operasi wibawa tahun tahun 1969, operasi di kab. Jayawijaya tahun 1977, operasi sapu bersih 1 dan 2 tahun 1981, operasi galang 1 dan 2 tahun 1982, operasi tumpas tahun 1983-1984. Biak berdarah tahun 1998, Wasior berdarah tahun 2001, Wamena berdarah tahun 2003, Puncak Jaya berdarah tahun 2004, dan sampai tahun 2021 pun masih ada. Sumber buku “Dialog Jakarta Papua” penulis Alm. Pr. Neles Tebai.
Kita orang Papua harus sadar, bahwa jumlah orang asli sudah semakin sedikit, maka apa yang harus dilakukan? Itu adalah PR untuk orang Papua yang harus di kerjakan.
Beberapa khasus dalam hari-hari ini :
1. Kasus Ibu Risma “Mentri sosial” (ASN di Balai Wyata Guna, Bandung, untuk dipindahkan ke Papua)
2. Kasus Nabire (Pemukulan warga sipil oleh Polisi)
3. Kasus Merauke (Penangkapan pemuda OAP yang tidak profesional oleh dua anggota TNI AU). Dan masih banyak kasus yang tidak tertulis.
“Minta maaf saja tidak cukup bagi orang Papua. Sebab, manusia Papua bukan binatang yang dikatakan orang Indonesia.”
0 comments:
Posting Komentar